Pada kesempatan kali ini,
Rumaysho.com mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan
sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Sungguh, puasa adalah
amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits
berikut,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan
yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang
akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan
karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu
kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.
Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau
minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun puasa sunnah
adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula
puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang
terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang
akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran
yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk
memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia
memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
1. Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Berbagai amalan
dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku
dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih
dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”
(HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
2. Puasa Tiga Hari Setiap
Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga
hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (yaitu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang
aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap
bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum
tidur.”( HR. Bukhari no. 1178)
Mu’adzah bertanya pada
‘Aisyah,
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Apakah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.”
Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?”
‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya
semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama
untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang
dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian
maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).
Dari Abu Dzar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin
berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR.
Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
3. Puasa Daud
Cara melakukan puasa Daud
adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا
“Puasa yang paling
disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah
adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada
sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan
berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Dari 'Abdullah bin 'Amru
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .
Disampaikan kabar kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku berkata; "Demi Allah,
sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam
sepanjang hidupku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya
kepadanya ('Abdullah bin 'Amru): "Benarkah kamu yang berkata;
"Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan
shalat malam sepanjang hidupku?". Kujawab; "Demi bapak dan ibuku
sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya". Maka Beliau
berkata: "Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan
tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah
selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan
sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun." Aku
katakan; "Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah". Beliau
berkata: "Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua
hari". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih dari
itu". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah
sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud 'alaihi salam yang merupakan
puasa yang paling utama". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu yang
lebih dari itu". Maka beliau bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih
utama dari itu". (HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)
Ibnu Hazm mengatakan,
“Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak.”[3]
Ibnul Qayyim Al Jauziyah
mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak adalah
lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).”[4]
Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya
dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya.
Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang
disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya
terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih
ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah
membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. ...
Wallahul Muwaffiq.”[5]
4. Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan
Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).
Dalam lafazh Muslim,
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa
hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Yang dimaksud di sini
adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[6]) sebagaimana
diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[7] Para ulama berkata bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh
selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah
wajib.[8]
5. Puasa Enam Hari di Bulan
Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang
berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti
berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
6. Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal
sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada
hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat
bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali
satupun." (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no.
1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah
berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga
amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih
lainnya.[9] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan
puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid,
dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari
‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[10], ...” (HR. Abu
Daud no. 2437. Shahih).
7. Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini
dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa
‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab,
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no.
1162).
Sedangkan untuk orang
yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas,
beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman
susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
8. Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama
setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara
shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim
no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan
penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan
Muharram.”[11]
Keutamaan puasa ‘Asyura
sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura
dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian,
namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya
adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu
’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa
hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu
ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Wahai Rasulullah, hari
ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau
mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)-
kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum
sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal
dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Ketentuan dalam Melakukan
Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum
makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda
dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu
mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata,
"Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada
hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi
hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka
beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku
berpuasa." (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih
Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum
waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa
sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya
adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang
ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya.
Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan
selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat
bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.[12]
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya
bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita
berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no.
5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah
menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang
tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah.
Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang
dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera
oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[13]
Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si
istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak
mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”[14]
Semoga Allah beri taufik
untuk beramal sholih.
Disempurnakan di
Panggang-GK, 24 Rajab 1431 H (07/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
______________________
[1] Lihat Al furqon baina
awliyair rohman wa awliyaisy syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51,
Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1424 H.
[2] Hari ini disebut
dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14,
dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat
itu.
[3] Al Muhalla, Ibnu
Hazm, 7/13, Mawqi’ Ya’sub
[4] ‘Aunul Ma’bud, 5/303,
Mawqi’ Al Islam
[5] Syarh Riyadhus
Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al
‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H
[6] Karena kadang kata
seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas.
[7] Lihat Nailul Author,
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh.
[8] Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan
kedua, 1392.
[9] Lihat Tajridul
Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam
Ahmad.
[10] Yang jadi patokan di
sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[11] Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 8/55.
[12] Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 8/35.
[13] Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 7/115.
[14] Idem.
Puasa
Daud, Puasa Paling Istimewa
Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam kepada Nabi-Nya. Dalam postingan-postingan sebelumnya, kami
telah menyinggung mengenai beberapa puasa sunnah, juga membahas keutamaannya.
Pada kesempatan kali ini, kami akan menyajikan materi puasa lainnya yaitu mengenai
puasa Daud. Puasa Daud adalah melakukan puasa sehari, dan keesokan harinya
tidak berpuasa. Semoga bermanfaat.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Puasa yang paling
disukai di sisi Allah adalah puasa Daud, dan shalat yang paling disukai Allah
adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam dan bangun
pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam malam
terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan buka sehari.”[1]
Faedah hadits:
1. Hadits ini menerangkan
keutamaan puasa Daud yaitu berpuasa sehari dan berbuka (tidak berpuasa)
keesokan harinya. Inilah puasa yang paling dicintai di sisi Allah dan tidak ada
lagi puasa yang lebih baik dari itu.
2. Di antara faedah puasa
Daud adalah menunaikan hak Allah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan
menunaikan hak badan yaitu dengan mengistirahatkannya (dari makan).
3. Ibadah begitu banyak
ragamnya, begitu pula dengan kewajiban yang mesti ditunaikan seorang hamba
begitu banyak. Jika seseorang berpuasa setiap hari tanpa henti, maka pasti ia
akan meninggalkan beberapa kewajiban. Sehingga dengan menunaikan puasa Daud
(sehari berpuasa, sehari tidak), seseorang akan lebih memperhatikan
kewajiban-kewajibannya dan ia dapat meletakkan sesuatu sesuai dengan porsi yang
benar.
4. Abdullah bin 'Amr
sangat semangat melakukan ketaatan. Ia ingin melaksanakan puasa setiap hari
tanpa henti, begitu pula ia ingin shalat malam semalam suntuk. Karena ini, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
memberi solusi padanya dengan yang lebih baik. Untuk puasa beliau sarankan
padanya untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya. Namun Abdullah bin 'Amr
ngotot ingin mengerjakan lebih dari itu. Lalu beliau beri solusi agar berpuasa
sehari dan tidak berpuasa keesokan harinya. Lalu tidak ada lagi yang lebih
afdhol dari itu. Begitu pula dengan shalat malam, Nabi shallallallahu 'alaihi
wa sallam memberi petunjuk seperti shalat Nabi Daud. Nabi Daud ‘alaihis salam
biasa tidur di pertengahan malam pertama hingga sepertiga malam terakhir. Lalu
beliau bangun dan mengerjakan shalat hingga seperenam malam terkahir. Setelah
itu beliau tidur kembali untuk mengistirahatkan badannya supaya semangat
melaksanakan shalat Fajr, berdzikir dan beristigfar di waktu sahur.
5. Berlebih-lebihan
hingga melampaui batas dari keadilan dan pertengahan dalam beramal ketika
beribadah termasuk bentuk ghuluw (berlebih-lebihan) yang tercela. Hal ini
dikarenakan menyelisihi petunjuk Nabawi dan juga dapat melalaikan dari berbagai
kewajiban lainnya. Hal ini dapat menyebabkan seseorang malas, kurang semangat
dan lemas ketika melaksanakan ibadah lainnya. Ingatlah, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
6. Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya
dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya.
Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang
disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya
terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat di samping puasa ini masih
ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah
membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. ...
Wallahul Muwaffiq.”[2]
7. Tidak mengapa jika
puasa Daud bertepatan pada hari Jumat atau hari Sabtu karena ketika yang
diniatkan adalah melakukan puasa Daud dan bukan melakukan puasa hari Jumat atau
hari Sabtu secara khusus.
Referensi:
* Syarh Riyadhus
Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah,
cetakan ketiga, 1424 H.
* Penjelasan Syaikh ‘Ali
bin Yahya Al Haddadi di website pribadinya haddady.com pada link:
http://www.haddady.com/ra_page_views.php?id=323&page=19&main=7
Faedah ilmu ketika safar,
13 Rabi'ul Akhir 1431 H (29/03/2010), Via BB.
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
[1] HR. Bukhari dan
Muslim no. 1159
[2] Syarh Riyadhus
Sholihin, 3/470.
Lakukan
Puasa Sunnah Minimal Sebulan 3 Kali
Usahakanlah setiap bulan
sempat melakukan puasa sunnah minimal 3 kali. Semoga Allah mudahkan.
Dalil Anjuran
[Dalil pertama]
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (yaitu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang
aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap
bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum
tidur.”[1]
[Dalil Kedua]
Mu’adzah bertanya pada
‘Aisyah,
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Apakah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah
menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa
tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa
(artinya semau beliau).”[2]
[Dalil Ketiga]
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian
maupun ketika bersafar.”[3]
[Dalil Keempat]
Dari Abu Dzar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin
berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan
15 (dari bulan Hijriyah).”[4]
[Dalil Kelima]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
“Puasa pada tiga hari
setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.”[5]
Pelajaran Penting
1. Dianjurkan berpuasa
tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin menjelaskan, “Puasa tiga hari setiap bulannya boleh dilakukan pada
sepuluh hari pertama, pertengahan bulan atau sepuluh hari terakhir dari bulan
Hijriyah, atau pula pada setiap sepuluh hari tadi masing-masing satu hari.
Puasa tersebut bisa pula dilakukan setiap pekan satu hari puasa. Ini semuanya
boleh dan melakukan puasa tiga hari setiap bulannya ada keluasan melakukannya
di hari mana saja. Oleh karena itu, ‘Aisyah mengatakan, “Beliau tidak peduli
pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau di awal, pertengahan atau
akhir bulan hijriyah)”.”[6]
2. Hari yang utama untuk
berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal
dengan ayyamul biid. Ada pula yang mengatakan bahwa ayyamul biid adalah hari
ke-12, 13 dan 14. Namun pendapat pertama tadi lebih kuat.
3. Hari ini disebut
dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14,
dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat
itu.
Faedah Puasa Tiga Hari
Setiap Bulan
1. Menghidupkan sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Melakukan puasa tiga
hari setiap bulannya seperti melakukan puasa sepanjang tahun karena pahala satu
kebaikan adalah sepuluh kebaikan semisal. Berarti puasa tiga hari setiap bulan
sama dengan puasa sebanyak tiga puluh hari setiap bulan. Jadi seolah-olah ia
berpuasa sepanjang tahun.[7]
3. Memberi istirahat pada
anggota badan setiap bulannya.
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
9 Rabi'ul Awwal 1431 H
____________________
[1] HR. Bukhari no. 1178.
[2] HR. Tirmidzi no. 763
dan Ibnu Majah no. 1709. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. An Nasai no.
2345. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Ash Shohihah
no. 580.
[4] HR. Tirmidzi no. 761
dan An Nasai no. 2424. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[5] HR. Bukhari no. 1979.
[6] Syarh Riyadhus
Sholihin, 3/470.
[7] Lihat penjelasan
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di Syarh Riyadhus Sholihin, 3/469.
Merutinkan
Puasa Senin Kamis
Puasa adalah amalan yang
sangat utama. Dengan puasa seseorang akan terlepas dari berbagai godaan syahwat
di dunia dan terlepas dari siksa neraka di akhirat. Puasa pun ada yang
diwajibkan dan ada yang disunnahkan. Setelah kita menunaikan yang wajib, maka alangkah
bagusnya kita bisa menyempurnakannya dengan amalan yang sunnah. Ketahuilah
bahwa puasa sunnah nantinya akan menambal kekurangan yang ada pada puasa wajib.
Oleh karena itu, amalan sunnah sudah sepantasnya tidak diremehkan.
Lakukanlah Puasa dengan Ikhlas
dan Sesuai Tuntunan Nabi
Agar ibadah diterima di
sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu:
1. Ikhlas karena Allah.
2. Mengikuti tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
Jika salah satu syarat
saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak.
Dalil dari dua syarat di
atas adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".”
(QS. Al Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah
mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat
syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena
Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[1]
Al Fudhail bin ‘Iyadh
tatkala menjelaskan mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau
mengatakan, “yaitu amalan yang
paling ikhlas dan showab (mencocoki
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata,
“Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu
pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan
diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Dalil Anjuran Puasa
Senin-Kamis
[Dalil pertama]
Dari Abu Qotadah Al
Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah
hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.”[2]
[Dalil kedua]
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Berbagai amalan
dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku
dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.”[3]
[Dalil ketiga]
Dari ‘Aisyah, beliau
mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”[4]
Faedah Puasa Senin-Kamis
1. Beramal pada waktu
utama yaitu ketika catatan amal dihadapkan di hadapan Allah.
2. Kemaslahatan untuk
badan dikarenakan ada waktu istirahat setiap pekannya.
Catatan: Puasa senin
kamis dilakukan hampir sama dengan puasa wajib di bulan Ramadhan. Dianjurkan
untuk mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan berbuka. Untuk masalah niat,
tidak ada lafazh niat tertentu. Niat cukup dalam hati.
Amalan yang Terbaik adalah
Amalan yang Bisa Dirutinkan
Dari ’Aisyah
–radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling
dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”
’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk
merutinkannya. [5]
Dari ’Aisyah, beliau
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai
amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa
sallam menjawab,
أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang rutin
(kontinu), walaupun sedikit.”[6]
’Alqomah pernah bertanya
pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari
tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ
”Tidak. Amalan beliau
adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti
mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”[7]
Semoga Allah memudahkan
kita melakukan amalan yang mulia ini. Amalan yang rutin biar pun sedikit, itu
lebih baik.
Segala puji bagi Allah
yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Disusun di
Pangukan-Sleman, 14 Shofar 1431 H
[1] Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, Ibnu Katsir, 9/205, Muassasah Qurthubah.
[2] HR. Muslim no. 1162.
[3] HR. Tirmidzi no. 747.
At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur
lainnya). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1041.
[4] HR. An Nasai no. 2360
dan Ibnu Majah no. 1739. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Lihat Shahihul Jaami’ no. 4897.
[5] HR. Muslim no. 783,
Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang
kontinu dan amalan lainnya.
[6] HR. Muslim no. 782
[7] HR. Muslim no. 783
Ganjaran
Bagi Yang Gemar Puasa Sunnah
Tidakkah engkau tahu
pahala yang melimpah di balik amalan puasa sunnah. Semoga dengan mengetahui hal
ini membuat kita semakin kiat melakukannya.
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan
yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang
akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan
karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu
kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.
Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau
minyak kasturi.”” (HR. Muslim no. 1151)
Dalam riwayat lain
dikatakan,
قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى
“Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan
puasa adalah untuk-Ku”.” (HR. Bukhari no. 1904)
Dalam riwayat Ahmad
dikatakan,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلُّ الْعَمَلِ كَفَّارَةٌ إِلاَّ الصَّوْمَ وَالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
“Allah ‘azza wa jalla
berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali
amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan
membalasnya”.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Pahala yang Tak Terhingga
Bagi Orang yang Berpuasa
Dari riwayat pertama,
dikatakan bahwa setiap amalan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga
tujuh ratus kebaikan yang semisal. Kemudian dikecualikan amalan puasa. Amalan
puasa tidaklah dilipatgandakan seperti tadi. Amalan puasa tidak dibatasi
lipatan pahalanya. Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh
Allah hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan.
Kenapa bisa demikian?
Ibnu Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, ”Karena puasa
adalah bagian dari kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang bersabar, Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS.
Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak
bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian
derajat.” As Sudi mengatakan, “Balasan orang yang bersabar adalah surga.”[1]
Sabar itu ada tiga macam
yaitu [1] sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, [2] sabar dalam
meninggalkan yang haram dan [3] sabar dalam menghadapi takdir yang terasa
menyakitkan. Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan
puasa. Dalam puasa tentu saja di dalamnya ada bentuk melakukan ketaatan,
menjauhi hal-hal yang diharamkan, juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar
dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan
lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga
sebagaimana sabar.
Amalan Puasa Khusus untuk
Allah
Dalam riwayat lain
dikatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Setiap amalan manusia adalah untuknya
kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”. Riwayat ini menunjukkan bahwa
setiap amalan manusia adalah untuknya. Sedangkan amalan puasa, Allah khususkan
untuk diri-Nya. Allah menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya.
Kenapa Allah bisa
menyandarkan amalan puasa untuk-Nya?
[Alasan pertama] Karena di dalam puasa, seseorang meninggalkan berbagai
kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lainnya.
Dalam ibadah ihram, memang ada perintah meninggalkan jima’ (berhubungan badan
dengan istri) dan meninggalkan berbagai harum-haruman. Namun bentuk kesenangan
lain dalam ibadah ihram tidak ditinggalkan. Begitu pula dengan ibadah shalat.
Dalam shalat memang kita dituntut untuk meninggalkan makan dan minum. Namun itu
dalam waktu yang singkat. Bahkan ketika hendak shalat, jika makanan telah
dihidangkan dan kita merasa butuh pada makanan tersebut, kita dianjurkan untuk
menyantap makanan tadi dan boleh menunda shalat ketika dalam kondisi seperti
itu.
Jadi dalam amalan puasa
terdapat bentuk meninggalkan berbagai macam syahwat yang tidak kita jumpai pada
amalan lainnya. Jika seseorang telah melakukan ini semua –seperti meninggalkan
hubungan badan dengan istri dan meninggalkan makan-minum ketika puasa-, dan dia
meninggalkan itu semua karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa
yang dia lakukan tersebut selain Allah, maka ini menunjukkan benarnya iman
orang yang melakukan semacam ini. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Rajab,
“Inilah yang menunjukkan benarnya iman orang tersebut.” Orang yang melakukan
puasa seperti itu selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah
meskipun dia berada sendirian. Dia telah mengharamkan melakukan berbagai macam
syahwat yang dia sukai. Dia lebih suka mentaati Rabbnya, menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena takut pada siksaan dan selalu
mengharap ganjaran-Nya. Sebagian salaf mengatakan, “Beruntunglah orang yang
meninggalkan syahwat yang ada di hadapannya karena mengharap janji Rabb yang
tidak nampak di hadapannya.”. Oleh karena itu, Allah membalas orang yang
melakukan puasa seperti ini dan Dia pun mengkhususkan amalan puasa tersebut
untuk-Nya dibanding amalan-amalan lainnya.
[Alasan kedua] Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya yang
tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin
yang hanya Allah saja yang mengetahuinya dan dalam amalan puasa ini terdapat
bentuk meninggalkan berbagai syahwat. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan selainnya
mengatakan, “Dalam puasa sulit sekali terdapat riya’ (ingin dilihat/dipuji
orang lain).” Dari dua alasan inilah, Allah menyandarkan amalan puasa pada-Nya
berbeda dengan amalan lainnya.
Sebab Pahala Puasa, Seseorang
Memasuki Surga
Lalu dalam riwayat
lainnya dikatakan, “Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap
amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah
untuk-Ku.”
Sufyan bin ‘Uyainah
mengatakan, “Pada hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya.
Setiap amalan akan menembus berbagai macam kezholiman yang pernah dilakukan,
hingga tidak tersisa satu pun kecuali satu amalan yaitu puasa. Amalan puasa ini
akan Allah simpan dan akhirnya Allah memasukkan orang tersebut ke surga.”
Jadi, amalan puasa adalah
untuk Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pun mengambil
ganjaran amalan puasa tersebut sebagai tebusan baginya. Ganjaran amalan puasa
akan disimpan bagi pelakunya di sisi Allah Ta’ala. Dengan kata lain, seluruh
amalan kebaikan dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh pelakunya.
Sehingga karena banyaknya dosa yang dilakukan, seseorang tidak lagi memiliki
pahala kebaikan apa-apa. Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa hari kiamat
nanti antara amalan kejelekan dan kebaikan akan ditimbang, satu yang lainnya
akan saling memangkas. Lalu tersisalah satu kebaikan dari amalan-amalan
kebaikan tadi yang menyebabkan pelakunya masuk surga.
Itulah amalan puasa yang
akan tersimpan di sisi Allah. Amalan kebaikan lain akan memangkas kejelekan yang
dilakukan oleh seorang hamba. Ketika tidak tersisa satu kebaikan kecuali puasa,
Allah akan menyimpan amalan puasa tersebut dan akan memasukkan hamba yang
memiliki simpanan amalan puasa tadi ke dalam surga.
Dua Kebahagiaan yang Diraih
Orang yang Berpuasa
Dalam hadits di atas
dikatakan, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu
kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.”
Kebahagiaan pertama
adalah ketika seseorang berbuka puasa. Ketika berbuka, jiwa begitu ingin
mendapat hiburan dari hal-hal yang dia rasakan tidak menyenangkan ketika
berpuasa, yaitu jiwa sangat senang menjumpai makanan, minuman dan menggauli
istri. Jika seseorang dilarang dari berbagai macam syahwat ketika berpuasa, dia
akan merasa senang jika hal tersebut diperbolehkan lagi.
Kebahagiaan kedua adalah
ketika seorang hamba berjumpa dengan Rabbnya yaitu dia akan jumpai pahala
amalan puasa yang dia lakukan tersimpan di sisi Allah. Itulah ganjaran besar
yang sangat dia butuhkan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا
“Dan kebaikan apa saja
yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi
Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS.
Al Muzammil: 20)
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا
“Pada hari ketika
tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya).” (QS. Ali
Imron: 30)
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Barang siapa yang
mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)
nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)
Bau Mulut Orang yang Berpuasa
di Sisi Allah
Ganjaran bagi orang yang
berpuasa yang disebutkan pula dalam hadits di atas , “Sungguh bau mulut orang
yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”
Seperti kita tahu bersama
bahwa bau mulut orang yang berpuasa apalagi di siang hari sungguh tidak
mengenakkan. Namun bau mulut seperti ini adalah bau yang menyenangkan di sisi
Allah karena bau ini dihasilkan dari amalan ketaatan dank arena mengharap ridho
Allah. Sebagaimana pula darah orang yang mati syahid pada hari kiamat nanti,
warnanya adalah warna darah, namun baunya adalah bau minyak kasturi.
Harumnya bau mulut orang
yang berpuasa di sisi Allah ini ada dua sebab:
[Pertama] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa puasa adalah rahasia
antara seorang hamba dengan Allah di dunia. Ketika di akhirat, Allah pun
menampakkan amalan puasa ini sehingga makhluk pun tahu bahwa dia adalah orang
yang gemar berpuasa. Allah memberitahukan amalan puasa yang dia lakukan di
hadapan manusia lainnya karena dulu di dunia, dia berusaha keras menyembunyikan
amalan tersebut dari orang lain. Inilah bau mulut yang harum yang dinampakkan
oleh Allah di hari kiamat nanti karena amalan rahasia yang dia lakukan.
[Kedua] Barangsiapa yang beribadah dan mentaati Allah, selalu mengharap
ridho Allah di dunia melalui amalan yang dia lakukan, lalu muncul dari
amalannya tersebut bekas yang tidak terasa enak bagi jiwa di dunia, maka bekas
seperti ini tidaklah dibenci di sisi Allah. Bahkan bekas tersebut adalah
sesuatu yang Allah cintai dan baik di sisi-Nya. Hal ini dikarenakan bekas yang
tidak terasa enak tersebut muncul karena melakukan ketaatan dan mengharap ridho
Allah. Oleh karena itu, Allah pun membalasnya dengan memberikan bau harum pada
mulutnya yang menyenangkan seluruh makhluk, walaupun bau tersebut tidak terasa
enak di sisi makluk ketika di dunia.[2]
Ganjaran Puasa Lainnya
# Puasa adalah perisai
dari api neraka
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ
”Puasa adalah perisai
yang dapat melindungi seorang hamba dari api neraka.”[3]
# Amalan puasa akan
memberikan syafa’at bagi orang yang menjalankannya
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَىْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
”Amalan puasa dan amalan
Al Qur’an itu akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat
nanti. Amalan puasa akan berkata, “Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari
makan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku untuk memberikan syafa’at
kepadanya”. Dan amalan Al Qur’an pula berkata, “Saya telah melarangnya dari
tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku untuk memberi syafa’at
kepadanya.” Beliau bersabda, “Maka syafa’at keduanya diperkenankan”.“[4]
# Bagi orang yang
berpuasa akan disediakan pintu surga Ar Royyan
Sahl bin Sa’d
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
”Sesungguhnya di surga
ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang
berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang
masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka, “Di mana
orang-orang yang berpuasa?” Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan
tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika
mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang
masuk melalui pintu tersebut”[5]
Semoga dengan mengetahui
keutamaan ini kita bisa lebih giat memperbanyakan amalan puasa sunnah.
Hanya Allah yang beri
taufik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar