Jumat, 12 Juni 2015

ULUMUL-QUR'AN | AYAT-AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIHAT

AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIHAT
A.   Latar Belakang
Al-Qur’an, selain merupakan wahyu, juga merupakan bagian kehidupan umat yang dapat membukakan mata hati dalam diri setiap insan. Firman Ilahi tersebut sudah dipandang sebagai kehidupan itu sendiri dan tidak semata-mata kitab biasa. Layaknya sebuah kehidupan, untuk dapat memahaminya biasanya diperlukan alat bantu yang kadang kala tidak sedikit.
Pada masa-masa permulaan turunnya, Al-Qur’an lebih banyak dihafal dan dipahami oleh para sahabat nabi SAW. Sehingga kemudian tidak ada alternatif  lain bagi para sahabat kecuali berupaya menulisnya. Apabila tidak dituliskan, maka mutiara yang bernilai demikian luhur dikhawatirkan akan bercampur dengan hal-hal lain yang tidak diperlukan. Sehingga, firman Ilahi yang mengiringi kehidupan umat Islam (dan juga seluruh umat manusia) telah tersedia dalam bentuk tertulis, bahkan berbentuk sebuah kitab.
Oleh sebab itu, tidak dapat dihindari jika kemudian berkembang ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an yang tidak lain tujuannya untuk mempermudah dalam memahaminya. Salah satu ilmu pengetahuan tentang Alquran adalah ilmu muhkam dan mutasyabih, biasa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai wujud keingintahuan terhadap cabang ilmu ini. Adapun hal-hal tersebut adalah:
  1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih itu sendiri.
  2. Apa macam-macam  dari ayat-ayat Mutasyabih.
  3. Hikmah Diturunkannya Ayat-ayat Mutasyabih.
  4. Pendapat Ulama Tentang Ayat-ayat Mutasyabih.
PEMBAHASAN
   I.   Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
  1. Pengertian Muhkam
Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang berati kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
Contoh: Surat Al-Baqarah ayat 83, yang Artinya:
“Dan (ingatlah) tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan mereka menyembah melainkan kepada Allah, dan terhadap kedua Ibu ­Bapak hendaklah berbuat baik, dan (juga) kepada kerabat dekat, dan anak-anak yatim dan orang ­orang miskin , dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik kepada manusia, dan dirikanlah sholat dan keluarkanlah zakat. Kemudian, berpaling kamu , kecuali sedikit, padahal kamu tidak memperdulikan.”
  1. Pengertian Mutasyabih
Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya.
Contoh: Surat Thoha ayat 5, yang Artinya: (Allah) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy’
 II.   Macam-macam Ayat Mutasyabih
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:[1]
  1. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, atau kecuali Allah SWT. Contohnya seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifatNya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghoib lainnya. Seperti keterangan surah Al-An’am ayat 59:
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghoib: tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri.”
Dan seperti isi surat lukman ayat 34:
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
  1. Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui maksudnya oleh semua orang. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan pembahasan dan pengkajian/penelitian yang mendalam. Contohnya ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, menqayidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain).”
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:[2]
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.”
  1. Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan semua orang. Ahmad Syadzali dalam bukunya tipe yang ketiga ini lebih menspesifikkan lagi. Ia menyatakan maksudnya ayat-ayat tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua ulama apalagi orang awam yang dapat mengetahui maksudnya.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran  ayat 7:
Artinya: “Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”
Dalam pengertian yang sama, Al-Raghib Al-Ashfahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurut dia, ayat-ayat mutasyabihat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang), dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui manusia seperti lafal-lafal yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup, dan jenis yang hanya diketahui oleh ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu. Jenis terakhir inilah yang disyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:[3]
Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.”
     III.        Hikmah Diturunkannya Ayat-ayat Mutasyabih
Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran membawa faedah/ hikmah yang banyak juga. Bahkan, lebih banyak daripada hikmah ayat-ayat muhkamat di atas. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut;
  1. Sebagai rahmat Allah SWT. Hal ini jelas sekali, karena jika tidak disamarkan, bisa jadi merupakan siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan menzahirkannya.
  2. Ujian dan cobaan terhadap kekuatan iman umat manusia.
  3. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
  4. Mendorong umat untuk giat belajar, tekun menalar, dan rajin meneliti.
  5. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
  6. Memudahkan orang dalam memahami Al-Qur’an. Sebab, adanya ayat-ayat yang mutasyabihat tersebut pasti mendorong seseorang untuk serius menghadapinya. Sehingga, dengan sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada gilirannya dapat mempermudah segalanya.
  7. Menambah pahala umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebab, semakin sukar kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
  8. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab, adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran, mendorong orang-orang yang akan mempelajarinya harus lebih dahulu mempelajari beberapa disiplin ilmu yang terkait dengan berbagai isi ajaran Al-Qur’an yang bermacam-macam. Seperti Ilmu matematika, bahasa, kimia, fisika, dan sebagainya.
     IV.        Pendapat Ulama Tentang Ayat-ayat Mutasyabih
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 7.
Subhi Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua mazhab, yaitu:
1.   Mazhab Salaf
Yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat ini dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.[4] Para Ulama Salaf mengharuskan kita berwaqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali Imran : 7 pada lafal jalalah. Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari ayat-ayat mutasyabihat yang ada. Mazhab ini juga disebut mazhab Muwaffidah atau Tafwid
2.   Mazhab Khalaf
Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal yang mustahil dzahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah.[5] Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7 mazhab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh (mendalam) dalam ilmunya. Mazhab ini disebut juga Mazhab Muawwilah atau Mazhab Takwil.
Berikut ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasyabih yang menjadikan perbedaan pendapat antara mazhab Salaf dan mazhab Khalaf:
  1. Lafal “Ístawa” pada Al-Qur’an surah Thaha ayat 5. Allah berfirman:
Artinya: “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Ars.”
Dalam ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi ini adalah Allah Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy.
Menurut mazhab Salaf, arti kata Istiwa’ sudah jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas Arsy (tahta). Namun tata cara dan kafiatnya tidak kita ketahui dan diharuskan bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan mengetahui hakikat kata Istiwa’ itu kepada Allah sendiri.
Pernah ditanyakan kepada Imam Malik tentang makna Istiwa’, maka beliau menjawab:
Artinya: “Istiwa’ itu ma’lum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah (mengada-ada). Saya kira engkau ini adalah orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.”
Berkata Ibnu Kasir dalam tafsirnya, bahwa jalan yang paling selamat mengenai hal ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh ulama salaf karena hal ini sepenuhnya adalah termasuk wewenang Allah semata-mata dan tidak dibenarkan sama sekali makhluk campur tangan.[6]
Sedangkan mazhab Khalaf memaknakan Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.[7]
  1. Lafal “yadun”  pada Al-Qur’an surah Al-Fath ayat 10. Allah berfirman:
Artinya: ”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka.”
Pada ayat di atas terdapat lafal yadun yang secara bahasa berarti tangan. Para ulama salaf mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Sedangkah ulama Khalaf memaknai lafal yadun dengan “kekuasaan” karena tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada makhluk.
  1. Lafal Ainun pada Al-Qur’an surah Thaha ayat 39. Allah berfirman :
Artinya: “ dan supaya kamu dibawah pengawasanku.”
Lafal Ainun dari segi lafdziyyah mempunyai arti mata. Menurut mazhab khalaf, lafal Ainun  dalam ayat di atas bermakna pengawasan Allah kepada Nabi Musa yang dihanyutkan di Sungai Nil pada masa Raja Fir’aun.
Adapun contoh yang lain terdapat dalam QS.Al-Fajr : 22, QS. Al-An’am : 61, QS. Al-Zumar : 56, QS. Al-Rahman : 27, QS.Ali-Imran: 28. Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, dan “diri” yang dijadikan sifat bagi Allah. Namun, ulama khalaf memaknai kata-kata tersebut sebagai: “kedatangan perintah-Nya”, “Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat”, “hak”, “zat”,dan ”siksa”.



KESIMPULAN
Dari definisi-definisi tentang muhkam dan mutasyabih di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri serta mudah dipahami. Sedangkan mutasyabih adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.
Adapun penyebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an adalah ketersembunyian dalam makna dan lafal. Sedangkan macam-macam ayat mutasyabih ada tiga; ayat yang tidak dapat diketahui artinya kecuali oleh Allah, ayat yang dapat diketahui artinya dengan jalan pembahasan, dan ayat yang dapat diketahui artinya oleh ulama tertentu.
Pandangan ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.
Di antara hikmah ayat-ayat muhkamat adalah memberi rahmat pada manusia, khususnya orang yang bahasa Arabnya lemah, memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya juga memudahkan mereka menghayati makna maksudnya agar mudah melaksanakan ajaran-ajarannya. Sedangkan hikmah dari ayat-ayat mutasyabihat salah satunya adalah menambah pahala usaha umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabih sebab semakin sukar pekerjaan seseorang maka akan semakin besar jugalah pahalanya.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan yang dlaif  tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang penulis dapat sajikan.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.2002.Ilmu-Ilmu Ulumul Al Quran, Semarang:Pustaka Rizki Putra.
Gani, Bustami A, dkk.1993.Alqur’an dan Tafsirnya.Semarang:Citra Effhar.
H.A., Abdul Djalal.2000.Ulumul Quran.Surabaya:Dunia Ilmu.
Supiana, dkk.1994.Ulumul Quran.Jakarta:Pustaka Islamika.
Syadali, Ahmad, dkk.2000.Ulumul Quran I.Bandung:Pustaka setia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar