AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIHAT
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an,
selain merupakan wahyu, juga merupakan bagian kehidupan umat yang dapat
membukakan mata hati dalam diri setiap insan. Firman Ilahi tersebut sudah
dipandang sebagai kehidupan itu sendiri dan tidak semata-mata kitab biasa.
Layaknya sebuah kehidupan, untuk dapat memahaminya biasanya diperlukan alat
bantu yang kadang kala tidak sedikit.
Pada
masa-masa permulaan turunnya, Al-Qur’an lebih banyak dihafal dan dipahami oleh
para sahabat nabi SAW. Sehingga kemudian tidak ada alternatif lain bagi
para sahabat kecuali berupaya menulisnya. Apabila tidak dituliskan, maka
mutiara yang bernilai demikian luhur dikhawatirkan akan bercampur dengan
hal-hal lain yang tidak diperlukan. Sehingga, firman Ilahi yang mengiringi
kehidupan umat Islam (dan juga seluruh umat manusia) telah tersedia dalam
bentuk tertulis, bahkan berbentuk sebuah kitab.
Oleh
sebab itu, tidak dapat dihindari jika kemudian berkembang ilmu pengetahuan
tentang Al-Qur’an yang tidak lain tujuannya untuk mempermudah dalam memahaminya.
Salah satu ilmu pengetahuan tentang Alquran adalah ilmu muhkam dan mutasyabih,
biasa diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
pemaparan di atas, ada beberapa hal yang cukup urgen dipertanyakan sebagai
wujud keingintahuan terhadap cabang ilmu ini. Adapun hal-hal tersebut adalah:
- Pengertian Muhkam dan
Mutasyabih itu sendiri.
- Apa macam-macam dari
ayat-ayat Mutasyabih.
- Hikmah Diturunkannya Ayat-ayat
Mutasyabih.
- Pendapat Ulama Tentang
Ayat-ayat Mutasyabih.
PEMBAHASAN
I. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
- Pengertian Muhkam
Muhkam
berasal dari kata Ihkam, yang berati kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan
pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas
maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
Contoh:
Surat Al-Baqarah ayat 83, yang Artinya:
“Dan
(ingatlah) tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan mereka
menyembah melainkan kepada Allah, dan terhadap kedua Ibu Bapak hendaklah
berbuat baik, dan (juga) kepada kerabat dekat, dan anak-anak yatim dan orang orang
miskin , dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik kepada manusia, dan
dirikanlah sholat dan keluarkanlah zakat. Kemudian, berpaling kamu , kecuali sedikit,
padahal kamu tidak memperdulikan.”
- Pengertian Mutasyabih
Kata
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan
dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha,
Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain
sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih
berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan
takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu,
atau hanya Allah yang mengetahuinya.
Contoh:
Surat Thoha ayat 5, yang Artinya: (Allah) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di
atas ‘Arasy’
II.
Macam-macam Ayat Mutasyabih
Sesuai
dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an, maka
ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:[1]
- Ayat-ayat mutasyabihat yang
tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, atau kecuali Allah SWT.
Contohnya seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifatNya, waktu datangnya
hari kiamat, dan hal-hal ghoib lainnya. Seperti keterangan surah Al-An’am
ayat 59:
Artinya:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghoib: tidak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri.”
Dan
seperti isi surat lukman ayat 34:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari
Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam
rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana
dia akan mati.”
- Ayat-ayat mutasyabihat yang
dapat diketahui maksudnya oleh semua orang. Hal ini dapat dilakukan dengan
jalan pembahasan dan pengkajian/penelitian yang mendalam. Contohnya
ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang,
urutan, dan seumpamanya.
Jadi,
dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak,
menqayidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3:
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain).”
Maksud
ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafalnya yang
ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:[2]
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang
yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain
mereka.”
- Ayat-ayat mutasyabihat yang
hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan semua orang.
Ahmad Syadzali dalam bukunya tipe yang ketiga ini lebih menspesifikkan
lagi. Ia menyatakan maksudnya ayat-ayat tersebut hanya dapat diketahui
oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Jadi bukan semua ulama
apalagi orang awam yang dapat mengetahui maksudnya.
Allah
berfirman dalam surat Ali Imran ayat 7:
Artinya:
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya.”
Dalam
pengertian yang sama, Al-Raghib Al-Ashfahani memberikan penjelasan yang mirip.
Menurut dia, ayat-ayat mutasyabihat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jenis
yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya
dabbah (binatang), dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui manusia seperti
lafal-lafal yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup, dan jenis yang hanya
diketahui oleh ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu. Jenis terakhir inilah
yang disyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:[3]
Artinya:
“Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah
kepadanya takwil.”
III. Hikmah Diturunkannya Ayat-ayat
Mutasyabih
Adanya
ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran membawa faedah/ hikmah yang banyak juga.
Bahkan, lebih banyak daripada hikmah ayat-ayat muhkamat di atas. Adapun
hikmahnya adalah sebagai berikut;
- Sebagai rahmat Allah SWT. Hal
ini jelas sekali, karena jika tidak disamarkan, bisa jadi merupakan
siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan menzahirkannya.
- Ujian dan cobaan terhadap
kekuatan iman umat manusia.
- Membuktikan kelemahan dan
kebodohan manusia.
- Mendorong umat untuk giat
belajar, tekun menalar, dan rajin meneliti.
- Memperlihatkan kemukjizatan
Al-Qur’an ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari
sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu
ciptaan Allah SWT.
- Memudahkan orang dalam memahami
Al-Qur’an. Sebab, adanya ayat-ayat yang mutasyabihat tersebut pasti
mendorong seseorang untuk serius menghadapinya. Sehingga, dengan
sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada
gilirannya dapat mempermudah segalanya.
- Menambah pahala umat manusia,
dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebab, semakin sukar
kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
- Mendorong kegiatan mempelajari
disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab, adanya ayat-ayat
mutasyabihat dalam Alquran, mendorong orang-orang yang akan mempelajarinya
harus lebih dahulu mempelajari beberapa disiplin ilmu yang terkait dengan
berbagai isi ajaran Al-Qur’an yang bermacam-macam. Seperti Ilmu
matematika, bahasa, kimia, fisika, dan sebagainya.
IV. Pendapat Ulama Tentang Ayat-ayat
Mutasyabih
Pada
dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi sifat-sifat
mutasyabihat dalam Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman atas
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 7.
Subhi
Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua mazhab, yaitu:
1.
Mazhab Salaf
Yaitu
orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat ini dan
menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri.[4] Para Ulama Salaf mengharuskan
kita berwaqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali Imran : 7 pada lafal jalalah.
Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari
ayat-ayat mutasyabihat yang ada. Mazhab ini juga disebut mazhab Muwaffidah atau
Tafwid
2.
Mazhab Khalaf
Yaitu
orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal yang mustahil dzahirnya
kepada makna yang layak dengan zat Allah.[5] Dalam memahami QS. Ali-Imran :
7 mazhab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”.
Hal ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat
mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh (mendalam) dalam ilmunya.
Mazhab ini disebut juga Mazhab Muawwilah atau Mazhab Takwil.
Berikut
ini adalah beberapa contoh sifat-sifat mutasyabih yang menjadikan perbedaan
pendapat antara mazhab Salaf dan mazhab Khalaf:
- Lafal “Ístawa” pada Al-Qur’an
surah Thaha ayat 5. Allah berfirman:
Artinya:
“(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Ars.”
Dalam
ayat ini diterangkan bahwa pencipta langit dan bumi ini adalah Allah Yang Maha
Pemurah yang bersemayam di atas Arsy.
Menurut
mazhab Salaf, arti kata Istiwa’ sudah jelas, yaitu bersemayam (duduk) di atas
Arsy (tahta). Namun tata cara dan kafiatnya tidak kita ketahui dan diharuskan
bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya urusan mengetahui hakikat kata Istiwa’
itu kepada Allah sendiri.
Pernah
ditanyakan kepada Imam Malik tentang makna Istiwa’, maka beliau menjawab:
Artinya:
“Istiwa’ itu ma’lum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah
(mengada-ada). Saya kira engkau ini adalah orang jahat. Keluarkan olehmu orang
ini dari majlis saya.”
Berkata
Ibnu Kasir dalam tafsirnya, bahwa jalan yang paling selamat mengenai hal ini
adalah jalan yang telah ditempuh oleh ulama salaf karena hal ini sepenuhnya
adalah termasuk wewenang Allah semata-mata dan tidak dibenarkan sama sekali
makhluk campur tangan.[6]
Sedangkan
mazhab Khalaf memaknakan Istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak berupa
pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.[7]
- Lafal “yadun” pada
Al-Qur’an surah Al-Fath ayat 10. Allah berfirman:
Artinya:
”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka.”
Pada
ayat di atas terdapat lafal yadun yang secara bahasa berarti tangan. Para ulama
salaf mengartikan sebagaimana adanya dan menyerahkan hakikat maknanya kepada
Allah. Sedangkah ulama Khalaf memaknai lafal yadun dengan “kekuasaan” karena
tidak mungkin Allah itu mempunyai tangan seperti halnya pada makhluk.
- Lafal Ainun pada Al-Qur’an
surah Thaha ayat 39. Allah berfirman :
Artinya:
“ dan supaya kamu dibawah pengawasanku.”
Lafal
Ainun dari segi lafdziyyah mempunyai arti mata. Menurut mazhab khalaf, lafal
Ainun dalam ayat di atas bermakna pengawasan Allah kepada Nabi Musa yang
dihanyutkan di Sungai Nil pada masa Raja Fir’aun.
Adapun
contoh yang lain terdapat dalam QS.Al-Fajr : 22, QS. Al-An’am : 61, QS.
Al-Zumar : 56, QS. Al-Rahman : 27, QS.Ali-Imran: 28. Dalam ayat-ayat tersebut
terdapat kata-kata “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, dan “diri” yang
dijadikan sifat bagi Allah. Namun, ulama khalaf memaknai kata-kata tersebut
sebagai: “kedatangan perintah-Nya”, “Maha Tinggi, bukan berada di suatu
tempat”, “hak”, “zat”,dan ”siksa”.
KESIMPULAN
Dari
definisi-definisi tentang muhkam dan mutasyabih di atas, kami dapat
menyimpulkan bahwa muhkam adalah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui
dengan jelas dan kuat berdiri sendiri serta mudah dipahami. Sedangkan
mutasyabih adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan
sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa
jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam.
Adapun
penyebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an adalah ketersembunyian dalam makna
dan lafal. Sedangkan macam-macam ayat mutasyabih ada tiga; ayat yang tidak
dapat diketahui artinya kecuali oleh Allah, ayat yang dapat diketahui artinya dengan
jalan pembahasan, dan ayat yang dapat diketahui artinya oleh ulama tertentu.
Pandangan
ulama mengenai ayat-ayat mutasyabihat dan dipahami manusia atau tidak ada dua
pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa arti dan ayat-ayat
mutasyabihat dapat diketahui oleh umat manusia, dan ulama yang lain mengatakan
bahwa umat manusia tidak dapat mengetahuinya.
Di
antara hikmah ayat-ayat muhkamat adalah memberi rahmat pada manusia, khususnya
orang yang bahasa Arabnya lemah, memudahkan manusia mengetahui arti dan
maksudnya juga memudahkan mereka menghayati makna maksudnya agar mudah
melaksanakan ajaran-ajarannya. Sedangkan hikmah dari ayat-ayat mutasyabihat
salah satunya adalah menambah pahala usaha umat manusia, dengan bertambah
sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabih sebab semakin sukar pekerjaan seseorang
maka akan semakin besar jugalah pahalanya.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan. Sebagai insan yang dlaif tentunya
masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat
kami harapkan dari pembaca sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang
penulis dapat sajikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi.2002.Ilmu-Ilmu Ulumul Al Quran, Semarang:Pustaka Rizki
Putra.
Gani,
Bustami A, dkk.1993.Alqur’an dan Tafsirnya.Semarang:Citra Effhar.
H.A.,
Abdul Djalal.2000.Ulumul Quran.Surabaya:Dunia Ilmu.
Supiana,
dkk.1994.Ulumul Quran.Jakarta:Pustaka Islamika.
Syadali,
Ahmad, dkk.2000.Ulumul Quran I.Bandung:Pustaka setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar